Sabtu pagi di tahun 2019, saya merasakan sesuatu yang tidak pernah saya rasakan sebelumnya. Dada kiri saya tiba-tiba nyeri hebat—menjalar ke lengan dan punggung kiri. Keringat dingin keluar seolah tubuh memberi sinyal bahaya. Dalam hati saya sempat bertanya, “Apa ini serangan jantung?”
Anehnya, setelah sekitar 30 menit, rasa sakit itu perlahan menghilang. Karena tidak paham dan tidak menduga apa pun, saya dan istri mengira itu cuma “masuk angin”. Maka hari itu kami tetap melanjutkan rencana: mengantar anak-anak berkunjung ke rumah nenek mereka seperti biasa.
Tapi sore harinya, ketika sedang bersantai bersama anak-anak, nyeri yang sama datang lagi. Dada kiri saya terasa seperti diremas. Nyeri menjalar ke lengan dan punggung, keringat dingin keluar, dan rasa panik langsung muncul. Ada sesuatu yang sangat tidak beres.
Setelah diskusi singkat, istri dan adik ipar akhirnya membawa saya ke rumah sakit. Ada satu momen yang tidak pernah saya lupakan: sebelum masuk mobil, anak ketiga saya memeluk saya erat sambil menangis. Wajahnya pucat, penuh kecemasan. Saat itu hati saya seperti jatuh—ada seorang anak kecil yang begitu takut kehilangan ayahnya. Momen itu menampar saya dengan lembut sekaligus menyentuh sangat dalam.
Dalam perjalanan ke rumah sakit, rasa nyerinya hilang lagi. Bagian dari diri saya sempat hendak berkata, “Sudah, kita batal ke rumah sakit.” Tapi istri saya menatap saya dan berkata pelan tapi tegas:
“Kita tetap harus periksa.”
Setibanya di IGD, saya langsung diperiksa EKG. Tidak lama kemudian dokter jaga mengatakan ada masalah pada jantung saya. Saya diberi obat yang diletakkan di bawah lidah dan diminta segera menjadwalkan konsultasi dengan dokter spesialis jantung.
Hari itu menjadi titik balik dalam hidup saya.
Saya belajar satu hal penting: tubuh kita selalu memberi tanda—hanya saja sering kita tidak mendengarnya.
Sejak hari itulah perjalanan saya sebagai penyintas PJK dimulai. Dan perjalanan ini yang akhirnya membawa saya untuk berbagi cerita dan pengalaman, agar orang lain tidak mengulangi kesalahan yang sama: mengabaikan suara tubuh sendiri.
Komentar
Posting Komentar