๐ซ Perjalanan Saya Berdamai dengan Jantung Koroner
Setelah kontrol sebelumnya menyatakan bahwa tes treadmill harus ditunda karena tekanan darah yang masih tinggi, saya mencoba mengambil sisi positifnya. Saya berkata pada diri sendiri:
“Mungkin Allah sedang memberikan waktu agar saya lebih siap.”
Selama sebulan itu saya berusaha memperbaiki kondisi. Setiap pagi saya mulai berjalan kaki, terkadang di ujung sesi saya mencoba berlari kecil. Tapi, setiap kali saya mulai berlari, nyeri dada kiri tiba-tiba muncul—menusuk pelan namun jelas, lalu menjalar. Begitu saya berhenti dan duduk, nyeri itu pelan-pelan mereda.
Dan itu adalah tanda khas dari penyakit jantung koroner.
Tanda yang tidak bisa diabaikan.
๐ฅ Hari yang Dinanti Tiba
Satu bulan berlalu—hari kontrol berikutnya tiba.
Saya datang ke RS Indriati Solo Baru dengan harapan besar: semoga treadmill benar-benar bisa dilakukan hari itu.
Hasil pemeriksaan awal membuat saya lega:
✔ Tekanan darah bagus
✔ Saturasi oksigen bagus
Dalam hati saya bersyukur:
“Akhirnya… mungkin hari ini saya bisa melangkah lebih jauh untuk memastikan kondisi jantung saya.”
Saat menunggu giliran, saya melihat sekeliling. Hampir semua orang yang duduk di ruang tunggu adalah pasien lanjut usia.
Di satu sisi, saya merasa seperti salah antre.
Di sisi lain, saya berpikir keras:
“Kalau saya sudah sampai di sini di usia 39, saya harus lebih disiplin dari mereka.”
๐งช Masuk ke Ruang Treadmill
Tak lama kemudian perawat memanggil nama saya.
Saya dibawa ke ruangan berbeda—ruang treadmill.
Saya diminta berbaring. Tubuh saya dipasangi kabel di dada, kaki, dan lengan. Rasanya seperti sedang bersiap menghadapi sebuah misi besar.
30 menit saya berbaring, hanya ditemani suara detak jantung dari monitor. Deg-degan.
Kemudian dokter masuk dan memberi instruksi:
“Nanti jalan dulu pelan ya Pak, tiap 3 menit kecepatannya naik. Kalau ada nyeri, langsung bilang.”
Saya berdiri di atas alat itu.
Tangan menggenggam pegangan treadmill erat-erat.
๐ Treadmill Dimulai — Ujian Fisik Sebenarnya
Awalnya terasa mudah. Saya berjalan pelan, ritme jantung dipantau lewat monitor.
“Masih aman, Pak,” kata dokter.
Memasuki menit ke-3, kecepatan mulai meningkat. Saya bertahan.
Tapi yang terasa bukan dada—kaki dan panggul saya mulai nyeri luar biasa.
Saya memang punya riwayat asam urat, dan berat badan saya saat itu masih belum ideal. Kombinasi yang berat.
Memasuki menit ke-6, saya tidak kuat lagi.
Saya berkata ke perawat:
“Sudah nggak kuat…”
Mesin mulai diperlambat untuk pendinginan.
Saya turun dengan napas terengah dan peluh deras membasahi dahi.
๐ Evaluasi Dokter — Harapan yang Retak
Saya kembali dipanggil ke ruang konsultasi.
Raut wajah dokter berubah serius.
“Tes tadi terlalu singkat, Pak. Kami belum bisa menarik kesimpulan.”
Beliau menyarankan agar saya mencoba treadmill di luar RS dan membawa hasilnya ke beliau, karena kuota BPJS untuk treadmill hanya satu kali.
Jika hasil treadmill menunjukkan gangguan suplai oksigen, maka saya akan dirujuk ke RSUD Moewardi untuk pemeriksaan lanjutan—kemungkinan besar angiografi jantung, yang bisa berujung pada pemasangan ring atau bahkan operasi bypass (CABG).
Mendengarnya, dalam hati saya tersenyum kecil:
“Ah, saya yakin saya nggak akan sampai pasang ring…”
Tapi ternyata…
Itu hanya sangkaan saya.
Dan sangkaan itu keliru.
Faktanya, hingga hari ini, sudah ada 4 stent (ring jantung) yang terpasang di jantung saya.
Saya pulang dengan resep obat yang sama, dan satu bulan lagi saya harus kembali untuk evaluasi berikutnya.
Hari itu saya belajar bahwa keberanian bukan berarti tidak takut, tapi tetap melangkah meski takut.
Dan bahwa perjalanan ini bukan tentang berapa kali saya gagal, tapi berapa kali saya mau bangun dan mencoba lagi.
Karena pada akhirnya:
Kita berjuang agar tetap ada untuk orang-orang yang kita cintai.
๐ฟ Terima kasih sudah membaca cerita ini.
Semoga pengalaman saya bisa menjadi pengingat untuk lebih peduli pada kesehatan jantung—sebelum terlambat.
Komentar
Posting Komentar