Langsung ke konten utama

Tertunda Lagi, Tapi Tidak Menyerah

Satu bulan setelah kontrol pertama, saya kembali datang ke rumah sakit untuk kunjungan kedua. Di dalam hati saya masih menyimpan harapan besar: semoga kali ini saya bisa menjalani tes treadmill yang sudah dijadwalkan sebelumnya.

Seperti biasa, sebelum bertemu dokter saya menjalani pemeriksaan awal—tensi, saturasi oksigen, dan berat badan. Dan hasilnya… tekanan darah saya masih tinggi. Angkanya saya sudah lupa, tetapi cukup tinggi hingga dokter memutuskan bahwa tes treadmill harus ditunda. Lagi.

Jujur, rasanya cukup membuat hati jatuh.
Selama sebulan itu saya sudah menyiapkan diri: membaca banyak artikel tentang tes treadmill, mencoba memperbaiki pola hidup, bahkan mempersiapkan mental untuk menghadapi hasilnya. Tapi hari itu semua harus diundur lagi satu bulan ke depan. Obat yang saya dapat pun masih sama seperti resep sebelumnya.

Karena tidak ada banyak perkembangan medis hari itu, saya merasa ini adalah momen yang tepat untuk membuka sedikit cerita tentang diri saya—tentang latar belakang yang membawa saya sampai pada titik ini.


Riwayat yang Sudah Lama Ditulis

Saya lahir tahun 1980, dari keluarga sederhana. Anak kedua dari dua bersaudara. Dan ya—serangan jantung pertama yang saya alami datang di usia 39 tahun. Usia yang bagi sebagian orang masih dianggap muda untuk penyakit seperti ini. Namun ternyata, jejaknya sudah terbentuk sejak lama.

Ibu saya adalah penderita hipertensi.
Ayah saya juga hipertensi, meski saya baru memahami hal itu ketika saya sudah dewasa. Saya masih ingat, waktu kecil ayah sering diberi obat yang membuat beliau sering buang air kecil—kemungkinan besar obat diuretik seperti HCT, yang umum diberikan pada pasien hipertensi.

Saya juga masih mengingat ucapan dokter puskesmas kepada beliau:
“Tensi panjenengan tinggi, Pak.”

Ayah akhirnya meninggal karena serangan jantung ketika saya masih kuliah di Bandung.

Dan jejak itu ternyata tidak berhenti di situ. Sejak SMP, saya sudah sering mengalami gejala hipertensi. Saat ujian, kepala saya sering pusing. Saat SMA, kuliah, hingga menikah, tekanan darah tinggi seperti terus mengikuti di belakang saya—seolah tidak pernah benar-benar pergi.


“Kita harus mulai terapi seumur hidup.”

Setahun setelah menikah, saya pernah masuk rumah sakit dengan tekanan darah mencapai 200. Di situ saya bertemu dr. Suryo Aribowo, seorang dokter internis yang sangat sabar dan tenang. Setelah memeriksa dan melihat hasil laboratorium, beliau berkata:

“Dari data kesehatan Bapak, hipertensi ini belum ditemukan penyebab spesifiknya. Tapi kita harus mulai terapi seumur hidup.”

Saya bertanya dengan rasa takut:
“Kalau minum obat terus-menerus, apa ginjal saya tidak rusak?”

Jawaban beliau sederhana tapi sangat menenangkan:

“Obat hipertensi modern aman untuk ginjal. Justru yang tidak minum obat dengan tensi tinggi yang berisiko merusak ginjal.”

Pada saat itu tinggi saya 157 cm dengan berat sekitar 70 kg. Rasio yang tidak ideal. Aktivitas fisik pun minim. Kombinasi yang menjadi jalan sunyi menuju kondisi yang saya hadapi hari ini.


Belajar Menerima, Belajar Memperbaiki

Kini saya sedang belajar menerima keadaan. Bukan pasrah, tetapi menerima bahwa ada banyak hal yang harus saya ubah: pola makan, pola pikir, aktivitas fisik, dan cara saya memperlakukan tubuh ini.

Yang terpenting, saya ingin membagikan perjalanan ini kepada teman-teman yang memiliki riwayat hipertensi atau keluarga dengan masalah jantung. Agar mereka tidak menunggu sampai tubuh memberikan alarm keras seperti yang saya alami.

Karena jantung bukan hanya organ yang berdetak,
tetapi cara kita tetap hadir untuk orang-orang yang kita cintai. ❤️

Komentar

Postingan populer dari blog ini

About Us

Saya adalah seorang laki-laki paruh baya (Nov 2025). Saya terkena serangan jantung pertama kali pada umur 39 tahun. Umur di mana seorang pada masa prime time. Tetapi dengan adanya penyakit ini akhirnya banyak hal yang saya cita-citakan harus tertunda. Sebagai penyintas PJK, saya ingin berbagi kepada para pembaca semua tentang banyak hal terkait PJK. Saya juga ingin berbagai cerita bagaimana awal mulai terkena PJK dan bertahan sampai sekarang

Kebiasaan sepele yang membuat jantung berumur panjang.

(Catatan dari seorang penyintas yang sedang belajar hidup lebih sehat) Setelah melalui perjalanan sebagai penyintas penyakit jantung, satu hal yang saya pelajari adalah: kesehatan jantung tidak hanya ditentukan oleh tindakan besar, tapi justru dibangun dari kebiasaan kecil yang kita lakukan setiap hari . Sering kali kita berpikir bahwa menjaga jantung berarti harus olahraga keras, diet ketat, atau obat-obatan. Padahal ada banyak kebiasaan sederhana yang efeknya luar biasa bila dilakukan secara konsisten. Berikut adalah beberapa kebiasaan ringan yang bisa membuat jantung bekerja lebih sehat dan berumur panjang. 1. Pilih Naik Tangga Ketimbang Lift Menaiki tangga adalah salah satu latihan jantung paling sederhana — dan gratis. Gerakan naik tangga meningkatkan detak jantung, memperkuat otot kaki, dan melancarkan aliran darah. Yang paling menarik, kebiasaan ini tidak perlu waktu khusus. Kamu hanya mengganti pilihan: ➡️ lift ❌ ➡️ tangga ✔️ Naik tangga 1–3 lantai setiap hari saja sudah term...

10 Kebiasaan Sepele Penyebab Tekanan Darah Tinggi

(Catatan dari seorang penyintas Penyakit Jantung Koroner) Sebagai penyintas Penyakit Jantung Koroner (PJK), saya belajar bahwa tekanan darah tinggi tidak datang tiba-tiba. Ia muncul perlahan, diam-diam, dan sering kali disebabkan oleh hal-hal kecil yang selama bertahun-tahun saya anggap “biasa saja”. Setelah menjalani perawatan dan memahami lebih dalam tentang kondisi tubuh saya, barulah saya sadar bahwa kebiasaan kecil ternyata bisa membawa dampak besar terhadap kesehatan jantung. Selama ini ketika mendengar tentang tekanan darah tinggi, kita cenderung langsung menyalahkan garam. Memang betul, garam adalah salah satu penyebab paling populer. Tapi faktanya—ada banyak hal lain yang sama-sama berperan. Di bawah ini saya rangkum 10 kebiasaan sederhana yang sering kita abaikan, padahal bisa memicu hipertensi dan memperburuk kesehatan jantung. Semoga tulisan ini bisa membantu kamu yang sedang berjuang, atau kamu yang ingin mencegah sebelum terlambat. 1. Terlalu Banyak Garam Saya dulu termas...